Home » » Mengabdi dalam Keterpinggiran

Mengabdi dalam Keterpinggiran


Oleh Andi Riza Hidayat dilansir dari kompas.com

Semangat mengabdi sebagai pendidik tak pernah luntur kendati harus dijalani dengan honor pas-pasan, malah jauh di bawah standar upah buruh. Hanya berharap suatu hari ada keberpihakan pada nasib mereka. Inilah balada para guru honorer.

Aris Kurniawan (34) sebagai guru honorer memiliki beban kerja setara dengan guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolahnya. Ia mengajar kelas III Sekolah Dasar Negeri Curug 01, Bojongsari, Kota Depok, mulai dari Senin sampai Sabtu untuk enam mata pelajaran.

Namun, honor yang diperoleh dari kerja kerasnya itu hanya Rp 500.000 per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan standar upah minimum seorang buruh di Depok, yaitu Rp 1.453.000 per bulan. Sementara gaji seorang guru PNS di Depok Rp 2,1 juta sampai Rp 3,5 juta per bulan.

Lebih ironis lagi, di ibu kota negara ini juga masih ditemukan guru honorer yang honor per bulannya kurang dari Rp 250.000. Nurjaman salah satunya. Guru agama di sebuah SMP negeri di Sunter Jaya, Jakarta Utara, ini hanya memperoleh honor Rp 220.000 per bulan, ditambah tunjangan fungsional Rp 300.000 per bulan yang biasanya dibayar secara rapel tiga atau enam bulan sekali. Padahal, seorang guru PNS di DKI Jakarta bisa membawa pulang gaji sebesar Rp 7,7 juta sampai Rp 9,4 juta per bulan sesuai dengan golongannya.

Namun, dengan penghasilan yang begitu minim, Nurjaman yang sudah menjalani profesi sebagai guru honorer sejak tahun 1990 itu masih tetap ingin mengabdi sebagai guru. ”Saya tetap ingin mengabdi sebagai guru. Ini sudah menjadi cita-cita sejak kecil,” ucapnya.

Buruh sampai ojek

Ketika honor yang diterima minim, pekerjaan serabutan pun dilakukan para guru honorer, antara lain berjualan, menjadi buruh di percetakan atau reparasi elektronik, dan mengojek sepeda motor.

Pagi sampai siang, Sudana (30), lulusan Universitas Terbuka, mengajar Bahasa Indonesia. ”Malam, saya mengojek,” kata guru honorer di sebuah SMP di Kota Bekasi ini.

Dari mengojek, ayah satu anak ini memperoleh rata-rata Rp 20.000 per hari. Jumlah yang cukup lumayan sebagai penghasilan tambahan. Sebab, gaji dan tunjangan sebagai guru honorer hanya Rp 600.000 per bulan.

Bukan cerita baru kalau keterlambatan tunjangan fungsional kerap menimbulkan keresahan di kalangan guru honorer ini. Senin (30/4) lalu, sekitar 30 guru dan pegawai tata usaha honorer dalam Komite Guru Bekasi (KGB) berunjuk rasa mempertanyakan tunjangan fungsional yang belum dibayarkan selama empat bulan.

Ketua KGB Mukhlis Setiabudi memaparkan, guru dan tenaga honorer bertambah resah setelah mengetahui hanya guru honorer yang memulai masa tugas tahun 2010 yang memperoleh rapel tunjangan fungsional selama tiga bulan. Sementara guru honorer yang bertugas sejak tahun 2008 belum menerima sepeser pun. ”Kalau caranya seperti ini, jelas menimbulkan kecemburuan,” kata Mukhlis.

Di luar itu, masih ada sekitar 1.500 guru honorer yang sama sekali belum memperoleh tunjangan fungsional itu.

Kontribusi guru honorer

Kontribusi yang diberikan guru honorer dalam mencerdaskan anak didik ini sesungguhnya tidak sedikit. Di DKI Jakarta, contohnya, setidaknya ada 13.000 guru honorer yang tersebar di sejumlah sekolah negeri, tak kurang dari 1.300 guru honorer di sekolah di Depok, dan 2.200 guru honorer di Kota dan Kabupaten Bekasi.

SDN Curug 01, misalnya, menggunakan empat guru honorer untuk mengisi posisi guru kelas dan guru bidang studi. Menurut Bendahara SDN Curug 01 Nurhayati, tanpa keberadaan mereka, kegiatan belajar-mengajar tak dapat berjalan lancar. Sebab, guru berstatus PNS terbatas dan tak semuanya mengajar karena harus mengelola manajemen sekolah, seperti kepala sekolah.

Namun, kemampuan sekolah untuk memberikan honor pun, menurut Nurhayati, sangat terbatas. Apalagi jika dana bantuan operasional sekolah terlambat turun, terpaksa uang simpanan siswa digunakan untuk membayar guru honorer.

Peraturan memarjinalkan

Menurut Koordinator Federasi Serikat Guru DKI Jakarta Ifa Sarifah, guru honorer juga makin termarjinalkan oleh serangkaian peraturan pemerintah. Ada beberapa masalah krusial yang dihadapi guru honorer sebagai dampak kebijakan pemerintah saat ini. Permasalahan pertama adalah Surat Keputusan Bersama Lima Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru yang dikeluarkan pada awal tahun 2012. Di dalam surat keputusan itu, setiap guru PNS ditargetkan memiliki 24 jam mengajar dalam waktu sepekan.

Peraturan itu menyebabkan porsi mengajar bagi guru honorer semakin berkurang. Peraturan itu menyebabkan guru honorer kehilangan pekerjaan.

Masalah kedua, proses pengangkatan guru honorer dan guru bantu di sekolah swasta yang diterapkan pemerintah berjalan tidak adil. Dengan serangkaian peraturan, guru honorer jauh lebih sulit menjangkau seleksi sebagai guru PNS.

Sebaliknya, guru bantu di sekolah swasta hanya membutuhkan surat keputusan dari yayasan sebagai syarat menjadi guru tetap dan mengikuti sertifikasi. ”Dengan sertifikasi itu, guru tetap di sekolah swasta bisa melanjutkan ke jenjang seleksi PNS. Sebaliknya, guru honorer tak dapat ikut sertifikasi karena yang boleh mengikuti sertifikasi hanya guru PNS dan calon PNS atau guru tetap,” tuturnya.

Sebagai tenaga profesional, menurut Ketua Forum Guru Honorer Jakarta Utara Sucipto, profesi guru honorer tidak dihargai pemerintah. Tak sedikit guru honorer yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, tetapi tidak juga diangkat sebagai PNS. ”Kalau mengacu pada Undang-Undang Tenaga Kerja, pemerintah jelas melanggar. Tapi nyatanya, nasib kami tetap terabaikan,” ujarnya.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INILAH GURU - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger