Guru Go Blog


Apa jadinanya jika dunia pendidikan dikolaborasikan dengan dunia teknologi informasi. Wow! sangat menakjubkan. Pendidikan di era modern ini sudah sangat beragam dan sudah sangat kompleks. Pertemuan di dalam kelas tak cukup untuk mengeksplorasi pendidikan yang diselenggarakan. Perlu ada inovasi yang didukung oleh dunia IT. Apa itu? salah satunya blog.

Guru bisa memanfaatkan blog ini sebagai media untuk mengeksplorasi keberlangsungan pendidikan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pemanfaatan blog dirasa sangat efektif untuk menshare efektivitas dalam pendidikan. Lewat konten-konten yang tersedia di blog, guru bisa membuat widget-widget yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Semisal Try Out (TO) Online.

Menurut Salardi  Nur Rakhim (dilansir dari kompas.com) bahwa siswa akan belajar sungguh-sungguh jika materi pelajaran yang kita ajarkan bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu contoh aplikasi metode CTL adalah membuat blog di internet sesuai mata pelajaran masing-masing.

Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana cara membuat blog di internet dan menggunakannya untuk tujuan mengajar? Untuk bisa membuat blog di internet, ada beberapa cara. Salah satunya, kita bisa masuk melalui www.blogger.com, lalu kita ikuti tiga langkah mudah membuat blog. Kita tinggal mengisi data sampai blog kita jadi.

Setelah blog kita jadi, agar lebih menarik, kita bisa memilih warna yang kita suka, mengisi blog dengan album foto sekolah, slide dari youtube, jumlah pengunjung, polling, artikel, atau materi pelajaran yang akan kita ajarkan. Bisa juga blog kita ”link”-kan ke media lain. Misalnya, Jawa Pos, Dispendik Surabaya, Dispendik Sidoarjo, Dispendik Gresik, Pustakamaya, atau Wikipedia.

Bila blog sudah jadi dan cukup menarik, kita bisa mengisinya dengan materi pelajaran yang akan kita ajarkan. Misalnya, bila besok akan praktikum, alat dan bahan, juga prosedur (cara kerja), dimasukkan dulu ke blog. Di kelas, kita bisa membagi kelompok atau menjawab pertanyaan siswa.

Mengabdi dalam Keterpinggiran


Oleh Andi Riza Hidayat dilansir dari kompas.com

Semangat mengabdi sebagai pendidik tak pernah luntur kendati harus dijalani dengan honor pas-pasan, malah jauh di bawah standar upah buruh. Hanya berharap suatu hari ada keberpihakan pada nasib mereka. Inilah balada para guru honorer.

Aris Kurniawan (34) sebagai guru honorer memiliki beban kerja setara dengan guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolahnya. Ia mengajar kelas III Sekolah Dasar Negeri Curug 01, Bojongsari, Kota Depok, mulai dari Senin sampai Sabtu untuk enam mata pelajaran.

Namun, honor yang diperoleh dari kerja kerasnya itu hanya Rp 500.000 per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan standar upah minimum seorang buruh di Depok, yaitu Rp 1.453.000 per bulan. Sementara gaji seorang guru PNS di Depok Rp 2,1 juta sampai Rp 3,5 juta per bulan.

Lebih ironis lagi, di ibu kota negara ini juga masih ditemukan guru honorer yang honor per bulannya kurang dari Rp 250.000. Nurjaman salah satunya. Guru agama di sebuah SMP negeri di Sunter Jaya, Jakarta Utara, ini hanya memperoleh honor Rp 220.000 per bulan, ditambah tunjangan fungsional Rp 300.000 per bulan yang biasanya dibayar secara rapel tiga atau enam bulan sekali. Padahal, seorang guru PNS di DKI Jakarta bisa membawa pulang gaji sebesar Rp 7,7 juta sampai Rp 9,4 juta per bulan sesuai dengan golongannya.

Namun, dengan penghasilan yang begitu minim, Nurjaman yang sudah menjalani profesi sebagai guru honorer sejak tahun 1990 itu masih tetap ingin mengabdi sebagai guru. ”Saya tetap ingin mengabdi sebagai guru. Ini sudah menjadi cita-cita sejak kecil,” ucapnya.

Buruh sampai ojek

Ketika honor yang diterima minim, pekerjaan serabutan pun dilakukan para guru honorer, antara lain berjualan, menjadi buruh di percetakan atau reparasi elektronik, dan mengojek sepeda motor.

Pagi sampai siang, Sudana (30), lulusan Universitas Terbuka, mengajar Bahasa Indonesia. ”Malam, saya mengojek,” kata guru honorer di sebuah SMP di Kota Bekasi ini.

Dari mengojek, ayah satu anak ini memperoleh rata-rata Rp 20.000 per hari. Jumlah yang cukup lumayan sebagai penghasilan tambahan. Sebab, gaji dan tunjangan sebagai guru honorer hanya Rp 600.000 per bulan.

Bukan cerita baru kalau keterlambatan tunjangan fungsional kerap menimbulkan keresahan di kalangan guru honorer ini. Senin (30/4) lalu, sekitar 30 guru dan pegawai tata usaha honorer dalam Komite Guru Bekasi (KGB) berunjuk rasa mempertanyakan tunjangan fungsional yang belum dibayarkan selama empat bulan.

Ketua KGB Mukhlis Setiabudi memaparkan, guru dan tenaga honorer bertambah resah setelah mengetahui hanya guru honorer yang memulai masa tugas tahun 2010 yang memperoleh rapel tunjangan fungsional selama tiga bulan. Sementara guru honorer yang bertugas sejak tahun 2008 belum menerima sepeser pun. ”Kalau caranya seperti ini, jelas menimbulkan kecemburuan,” kata Mukhlis.

Di luar itu, masih ada sekitar 1.500 guru honorer yang sama sekali belum memperoleh tunjangan fungsional itu.

Kontribusi guru honorer

Kontribusi yang diberikan guru honorer dalam mencerdaskan anak didik ini sesungguhnya tidak sedikit. Di DKI Jakarta, contohnya, setidaknya ada 13.000 guru honorer yang tersebar di sejumlah sekolah negeri, tak kurang dari 1.300 guru honorer di sekolah di Depok, dan 2.200 guru honorer di Kota dan Kabupaten Bekasi.

SDN Curug 01, misalnya, menggunakan empat guru honorer untuk mengisi posisi guru kelas dan guru bidang studi. Menurut Bendahara SDN Curug 01 Nurhayati, tanpa keberadaan mereka, kegiatan belajar-mengajar tak dapat berjalan lancar. Sebab, guru berstatus PNS terbatas dan tak semuanya mengajar karena harus mengelola manajemen sekolah, seperti kepala sekolah.

Namun, kemampuan sekolah untuk memberikan honor pun, menurut Nurhayati, sangat terbatas. Apalagi jika dana bantuan operasional sekolah terlambat turun, terpaksa uang simpanan siswa digunakan untuk membayar guru honorer.

Peraturan memarjinalkan

Menurut Koordinator Federasi Serikat Guru DKI Jakarta Ifa Sarifah, guru honorer juga makin termarjinalkan oleh serangkaian peraturan pemerintah. Ada beberapa masalah krusial yang dihadapi guru honorer sebagai dampak kebijakan pemerintah saat ini. Permasalahan pertama adalah Surat Keputusan Bersama Lima Menteri tentang penataan dan pendistribusian guru yang dikeluarkan pada awal tahun 2012. Di dalam surat keputusan itu, setiap guru PNS ditargetkan memiliki 24 jam mengajar dalam waktu sepekan.

Peraturan itu menyebabkan porsi mengajar bagi guru honorer semakin berkurang. Peraturan itu menyebabkan guru honorer kehilangan pekerjaan.

Masalah kedua, proses pengangkatan guru honorer dan guru bantu di sekolah swasta yang diterapkan pemerintah berjalan tidak adil. Dengan serangkaian peraturan, guru honorer jauh lebih sulit menjangkau seleksi sebagai guru PNS.

Sebaliknya, guru bantu di sekolah swasta hanya membutuhkan surat keputusan dari yayasan sebagai syarat menjadi guru tetap dan mengikuti sertifikasi. ”Dengan sertifikasi itu, guru tetap di sekolah swasta bisa melanjutkan ke jenjang seleksi PNS. Sebaliknya, guru honorer tak dapat ikut sertifikasi karena yang boleh mengikuti sertifikasi hanya guru PNS dan calon PNS atau guru tetap,” tuturnya.

Sebagai tenaga profesional, menurut Ketua Forum Guru Honorer Jakarta Utara Sucipto, profesi guru honorer tidak dihargai pemerintah. Tak sedikit guru honorer yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, tetapi tidak juga diangkat sebagai PNS. ”Kalau mengacu pada Undang-Undang Tenaga Kerja, pemerintah jelas melanggar. Tapi nyatanya, nasib kami tetap terabaikan,” ujarnya.

Research Based Learnig (RBL) dalam Pembelajaran Fisika


Mutu pendidikan di Indonesia terutama pendidikan sains saat ini masih rendah dan tertinggal dari negara lain. Berdasarkan pernyataan Dirjen Dikdasmen (2002) bahwa beberapa indikasi bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum meningkat : (1) Gejala lulusan SLTP dan sekolah menengah yang menjadi pengangguran di pedesaan karena tidak mampu menerapkan pengetahuan yang didapat di sekolah kedalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dinyatakan bahwa 34,4 % lulusan SLTP tidak melanjutkan ke sekolah menengah atas, (2) ketidakpuasan berjenjang, dimana sekolah lanjutan merasa bekal siswa yang masuk (lulusan sekolah sebelumnya) kurang baik. Hal ini diperkuat dari hasil studi the Thrid International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R : 1999 dalam tim BBE Depdiknas : 2001) melaporkan bahwa prestasi siswa SLTP di Indonesia  berada pada urutan ke-34 untuk matematika dan pada urutan ke-32 untuk IPA dari 38 negara peserta yang di studi di Asia, Australia dan Afrika.

Dari dua pernyataan diatas, dapat pula dilihat bahwa pada proses kegiatan belajar mengajar di Indonesia saat ini lebih mengedepankan keberhasilan aspek kognitif pada diri siswa dari pada keberhasilan aspek afektif dan psikomotornya. Dari hal tersebut akan adanya ketimpangan yang muncul diantara ketiga aspek tersebut, dimana aspek kognitif memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan kedua aspek yang lain. Sebenarnya ada hal yang tidak kalah penting dari sekedar pembentukan keberhasilan aspek kognitif, yakni bagaimana siswa dibentuk dan diarahkan memiliki kecakapan ilmiah, kreativitas dan daya inovasi dalam belajar. Selama ini siswa banyak dijejali dengan teori dan konsep selama proses belajar, namun mereka tidak diberikan ruang untuk mengaplikasikan teori dan konsep yang diterima di kelas dalam bentuk kegiatan ilmiah.

Selain itu, faktor penunjang rendahnya mutu pendidikan terutama sains adalah kurang dikembangkanya keterampilan proses sains dan keterampilan berpikir ilmiah di dalam kelas. Keterampilan proses sains melatih siswa dalam proses berpikir dan membentuk manusia yang mempunyai sikap ilmiah. Sedangkan, keterampilan berpikir merupakan aspek penting dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Jika keterampilan berpikir tersebut tidak dilatih terus menerus dalam kegiatan belajar dapat dipastikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan akan sangat minimal dan kurang berkualitas.

Hal yang paling diharapkan dari dampak aplikasi dan kegiatan ilmiah tersebut adalah munculnya sikap ilmiah pada diri siswa. Jika belajar hanya sebatas pada kegiatan mengolah teori dan konsep, maka dampak yang bisa timbul adalah rasa jenuh yang melanda mereka. Apalagi jika mata pelajaran yang diajarkan memiliki tingkat kesulitan tinggi seperti pelajaran fisika.

Mata pelajaran fisika merupakan pelajaran yang tidak banyak disukai oleh siswa. Hal ini kerena fisika sering dijabarkan dalam bentuk matematika yang sering membuat siswa “mati kutu” dalam mempelajarinya. Ditambah jika guru yang mengajar dianggap monoton oleh siswa.

Untuk menjawab persoalan diatas maka perlu ada alternatif pembelajaran yang mamapu menghindari pola pembelajaran yang menjenuhkan dan monoton khususnya dalam pelajaran fisika. Namun tak mengurangi esensi kompetensi dasar dan standar kompetensi dari kurikulum yang ada. Pembelajaran ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswa lebih aplikatif teori yang didapatkannya. Selain itu dapat merangsang siswa untuk memiliki sikap ilmiah. Pembelajaran yang bisa dijadikan alternatif tersebut adalah Research Basic Learning (RBL).

Research Basic Learning (RBL) merupakan kegiatan pembelajarn yang berdasarkan pada penelitian dasar terhadap kajian keilmuan yang dipelajari secara konseptual. Dalam prosesnya siswa diberikan kebebasan untuk mengkaji satu topik masalah yang didasarkan pada penelitian dasar yang dilakukan sesuai prosedur yang ada. Siswa kemudian diarahkan lebih kepada upaya menganalisis kajian dengan cermat, sehingga dampak yang dihasilkan adalah siswa memiliki wawasan, terlatih pola pikir dan sikap ilmiahnya secara menyeluruh. Selain itu, dalam pembelajaran ini siswa dirangsan untuk memunculkan sisi kreativitas dan daya inovasi terhadap keilmuan yang dikaji.

Pada pelaksanaanya, guru bertugas untuk mensuvervisi dan membimbing siswa dalam tataran konsep dasarnya saja. Sedangkan pengembangan lebih lanjut diserahkan pada siswa sepenuhnya. Selian itu guru memberikan rambu-rambu baik dari segi konsep maupun segi prosedur teknis pelaksaaan kegiatan pembelajaran. Sehingga pada pelaksanaanya tidak melenceng dari tujuan pembelajaran.

Do dalam Pembelajaran adalah Segalanya


Banyak teori mengenai belajar. Teori hanya sekedar teori bila tidak ada unsure do, artinya belajar akan lebih berarti jika kita mencoba. Sebagai contoh, bila kita mengajarkan sepeda pada anak kecil. Tak bisa kita memberikan beribu materi tentang bagai mana teknik bermain sepeda. Yang harus diajarkan padanya adalah bagai mana melakukan dan mencoba sendiri. Dengan demikian proses belajar akan memiliki hasil yang diharapkan. Dalam kasus ini si anak bisa mengendarai sepeda.
Begitupun di dalam kelas. Teori itu penting, namun jauh lebih penting anak memahami teori tersebut dengan mencoba. Dalam pelajaran fisika contohnya, rumus-rumus bukan untuk di hafal. Tapi bagaimana siswa dapat memahi arti dari symbol-simbol dari rumus tersebut dan menerapkannya dalam aplikasi, seperti mampu mengerjakan soal dengan baik. Dalam hal ini anak harus terus mencoba sendiri menggunakan rumus-rumus tersebut dalam bentuk soal.
Di indonesia, system pendidikan yang disuguhkan memang terasa kompleks. Kurukilum dibuat sangat padat. Guru dibuat seperti dikejar-kejar anjing galak dalam mengajar. Untuk mengejar dan memenuhi target katanya. Sehingga yang terjadi ada siswa seolah-olah diseret-seret dalam belajar. Tak hanya itu, materi yang diberikan hanya sebatas teori. Tak ada pencapaian untuk meperoleh kecapakan soft skill. Yang jadinya, Indonesia adalah negara yang jago teori.
Lebih aplikatif itulah yang harus dilakukan dalam belajar. Siswa berusaha menerapkan teori yang didapat dalam belajar. Syukur-syukur bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Sebenarnya titik pangkal dari system pembelajar di Indonesia seperti ini adalah pemerintah. Seandainya pemerintah mau mencontoh negara-negara maju dalam system pendidikan ataupun mau mengadopsi system dan kurikulum dari negara maju. Mungkin negara kita tak akan jauh tertinggal dari negara lain.
Mari berbuat.

Guru Mundur karena Dipaksa Berikan Nilai Fiktif


Inilah contoh idealisme guru yang bekerja atas nama kejujuran. Berita yang disarikan kompas.com . Selamat menyimak.

Karena dipaksa memberikan nilai untuk murid-muridnya, seorang guru di SMA Negeri I Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, akhirnya mengundurkan diri sebagai guru komite sekolah.
Guru bernama Maria Yohana Abi itu telah mengabdi sejak 2007 sebagai pengajar mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Abi mengajukan pengunduran dirinya kepada kepala sekolah dan komite sekolah pada Senin, (23/4/2012) karena tak kuasa menahan tekanan psikologi yang ditanggungnya selama ini.
"Saya pada intinya hanya mau memperhatikan kualitas pendidikan anak-anak dan tidak berniat mau menjatuhkan guru-guru apalagi kepala sekolah. Hanya kalau model pendidikan seperti ini dampaknya nanti pada anak-anak. Terus terang saja, saya mengundurkan diri karena tidak cocok dengan sistem di dalam sekolah," kata Abi di kediamannya, Senin (30/4/2012).
Abi mengatakan, persoalan tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya jumlah siswa yang tidak menguasai pelajaran TIK di kelas XI semester I pada tahun ajaran 2010/2011. Setelah proses belajar mulai dari dasar internet sampai ujian, hanya tiga orang siswa yang dinyatakan mampu, sedangkan sebagian besar tidak bisa dan terancam tidak lulus.
Khawatir bila nilai-nilai ujian itu dapat mengganggu kelulusan siswa, beberapa wali kelas XI mendesak Abi untuk merekayasa nilai tanpa melalui rapat dengan guru-guru. Merasa mendapat secara psikologis, akhinya Abi terpaksa memberi nilai merata antara 70 dan 80 untuk semua murid, meskipun hal itu tidak sesuai dengan indikator dalam silabus. "Saya selama ini tertekan, tapi mengingat banyak hal khususnya terhadap siswa sehingga baru minggu lalu karena tak kuat lagi, terpaksa saya harus mengundurkan diri," kata Abi.
Terkait dengan itu, Kepala SMA Negeri I Kefamenanu, Yoseph Obe, mengatakan bahwa masalah tersebut berada di luar kendalinya karena ia belum genap menjabat sebagai kepala sekolah selama satu tahun. Kejadian itu, kata Obe, menjadi tanggung jawab kepala sekolah sebelumnya.
Meski demikian, Obe sangat menyayangkan sikap Abi yang memuat berita di sebuah media online lokal tentang hal tersebut di saat dirinya sementara menjabat sebagai kepala sekolah. "Kenapa tidak dipublikasikan sebelum-sebelumnya? Untuk pemberian nilai TIK kepada para murid, sebenarnya tidak ada yang menekan dan tidak ada yang mengintervensinya. Yang bersangkutan juga dengan sadar mengisi nilai di depan guru-guru sekretaris yag merekrut nilai-nilai itu," kata Obe.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INILAH GURU - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger